KEHIDUPAN KEKAL

Dr. Daud H. Soesilo, Ph.D

Dalam Perjanjian Lama, Bangsa Israel Kuno tidak mengenal adanya kehidupan kekal atau kehidupan sesudah kematian. Memang dalam Yeh 37:1-14 dibahas hal kebangkitan tulang-tulang kering dilembah, akan tetapi perikop itu merupakan satu lambang mengenai pemulihan umat Israel setelah masa pembuangan di Babilonia.

Pemahaman tentang hidup sesudah kematian baru muncul setelah bangsa Isreal pulang dari pembuangan. Dan kemungkinan besar pemahaman ini timbul setelah orang Yahudi berhubungan dengan orang Persia.

Nats Perjanjian Lama yang pertama kali membahas tentang kehidupan sesudah kematian adalah Dan 12:1-2 (l.k. tahun 175 S.M.) Di bawah Raja Antiokhus IV Epifanes, Bangsa Yahudi disiksa habis-habisan, mereka harus menanggalkan iman mereka atau menghadapi risiko hukuman mati. Dan memang banyak yang dihukum mati demi iman yang mereka pertahankan. Nats Dan 12:1-2 menyatakan bahwa Allah akan membela orang yang setia sampai mati karena iman mereka , yaitu dengan menghidupkan mereka dari kematian untuk menikmati hidup yang kekal (Ibrani khayye olam).

Malaikat yang berpakaian linen itu berkata lagi, “Pada saat itu akan muncul malaikat besar Mikhael pelindung bangsamu. Kemudian akan ada masa kesukaran yang tiada bandingnya sejak ada bangsa-bangsa. Tetapi semua orang dari bangsamu yang namanya tertulis dalam buka Allah, akan diselamatkan. Banyak di antara meraka yang sudah mati akan hidup lagi; sebagian akan menikmati hidup yang kekal dan sebagian lagi akan menikmati kehinaan dan kengerian yang kekal juga”. (Dan 12:1-2, BIS).

Kisah penganiayaan di bawah Antiokhus IV Epifanes ini juga dipaparkan dalam Deuterokanonika. Dalam 2Mak. 7 dimuat kisah seorang ibu dan tujuh anaknya yang dihukum mati karena mempertahankan iman mereka. Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir, anak kedua mengungkapkan keyakinannya dengan berkata kepada raja, “Penjahat! Memang engkau bisa membunuh kami. Tetapi Raja semesta alam akan membangkitkan kami dari kematian dan memberi kami kehidupan kekal, karena kami mati demi hukum-hukum-NYa.” ([2 Mak 7:9], BIS).

Sedangkan dalam bagian lain dari Deuterokanonika diungkapkan kehidupan yang terus menerus tanpa mengenal kematian: “Sebaliknya orang yang jujur hidup selama-lamanya” ([Keb 5:15], bnd. [Keb 3:4]).

Patut dicatat bahwa pemahaman masalah kehidupan kekeal ini menjadi salah satu pokok kepercayaan yang menjadi pemisah antara golongan agama dalam bangsa Yahudi yang disebut Farisi dan golongan lain yang disebut Saduki. Pertikaian antara kedua golongan itu direkam dalam Kis 23:6-9 (bnd. Mrk 12:18-27).

Bagaimanakah kehidupan kekal ini dibahas dalam Perjanjian Baru? Dalam naskah Yunani. Kata aidios dan aionios berkenaan dengan waktu yang tak ada batasnya atau kekekalan. Tak ada perbedaan arti antara kedua kata itu, hanya saja aidios dan aionios bersifat teknis, karenanya lebih dikenal di antara para ahli filsafat. Dalam Perjanjian Baru, aionios “kekal” sering digunakan bersama dengan zoe “hidup”, contoh Yoh 1:15 “supaya semua orang percaya kepada-Nya mendapat hidup kekal”. Bila digabung dengan ‘hidup’, istilah itu tidak hanya memuat unsur waktu, tetapi juga unsur kualitatif. Dan dalam konteks seperti itu, kata aionios berkaitan dengan sifat-sifat Ilahi yang adikodrati.

Kebangkitan Yesus dari kematian merupakan ajaran pokok dalam khotbah-khotbah orang Kristen yang pertama seperti direkam dalam Perjanjian Baru. Ajaran itu menekankan bahwa Yesus telah bangkit dari antara orang mati, kabangkitan Yesus merupakan bukti Dia adalah Penyelamat yang diutus oleh Allah (Mrk 14:62), dan Yesus adalah Manusia yang baru (Adam yang baru) yang memberi kehidupan kekal (Rm 5:12-21).

Dalam Injil Yohanes, Yesus menawarkan kehidupan kekal kepada pengikut-pengikut-Nya, tidak hanya pada masa yang akan dating, tetapi juga sekarang: “Orang yang memperhatikan kata-kata-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, mempunyai hidup sejati dan kekal” (Yoh 5:24,BIS). Yang ditawarkan oleh Yesus jauh lebih unggul dari yang berlaku dalam Perjanjian Lama. Orang yang makan manna di padang gurun akan mati, tetapi yang datang kepada Yesus, ”Roti yang memberi hidup” akan tetap hidup (Yoh 6:35). “Supaya semua yang melihat anak dan percaya kepada-Nya mempunyai hidup sejati dan kekal, dan Aku hidupkan kembali pada Hari Kiamat” (Yoh 6:40, bnd Yoh 6:47). “Inilah roti yang turun dari surga: bukan roti seperti yang dimakan oleh nenek moyangmu. Karena setelah makan roti itu , mereka mati juga. Tetapi orang yang makan roti ini akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6:58). “Tetapi orang yang minum air yang akan Kuberikan, tidak akan haus lagi selama-lamanya. Sebab air yang akan Kuberikan itu akan menjadi mata air di dalam dirinya yang memancar keluar dan memberikan kepadanya hidup sejati dan kekal” (Yoh 4:14).

Ada sejumlah orang yang menafsir pemberitaan ini semata-mata secara harafiah, itu sebabnya orang-orang seperti Himeneus dan Filetus menganggap mereka tidak akan mati dan sudah mengalami kebangkitan (2 Tim 2:17-18). Golongan yang seperti itulah yang tidak habis percaya ketika salah seorang pengikut Yesus yang bernama Lazarus meninggal dunia (Yoh 11:1-). Tetapi pengalaman-pengalaman seperti inilah yang justru memperluas pemahaman hal kehidupan kekal.

Memang mereka yang meninggalkan kepercayaan yang lama, bertobat serta menjadi pengikut Kristus, telah melewati kematian dan memperoleh kehidupan yang baru ([1 Pet 1:3]). Dengan kata lain, kehidupan yang kekal itu sudah mulai dialami dalam hidup ini. Orangmelewati kematian dan menerima kehidupan saat ia dibaptiskan, dan sesuai dengan janji Tuhan, kehidupan kekal itu akan menjadi lebih nyata pada masa yang akan dating. Yesus akan menghidupkan orang yang percaya kepada-Nya pada Hari Kianmat (Yoh 6:40;11:25-26).

Kesimpulan, bila “kehidupan kekal” hanya diterjemahkan sebagai “kehidupan yang tak pernah mati”, pasti mudah menimbulkan kesalahpahaman. Orang bisa menganggap bahwa “tak pernah mati” hanya merujuk pada kehidupan jasmani bukan pada “kematian rohani”. Itulah sebabnya Alkitab Kabar Baik dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (LAI 1985) menerjemahkan “kehidupan kekal” dengan satu istilah yang mempertahankan keseimbangan antara “dimensi kini” dan “dimensi mendatang”, antara “kualitas” dan “kuantitas. Jadi dengan diterjemahkannya “hidup kekal” menjadi “hidup sejati dan kekal”, keluarlah kedua unsur makna kehidupan yang sesungguhnya (mutunya), dan yang tidak berkesudahan (lamanya)!

Rujukan Pustaka

  1. Arndt, William F.; Gingrich, F. Wilbur; dan Danker, Frederick W. 1979. A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Chritian Literature. Edisi ke-2. Chicago: University of Chicago.
  2. Le’on-Dufour,Xavier. 1990. Ensiklopedi Perjanjian Baru. SaduranStefanLeks dan A. S. Hadiwinata. Yogyakarta: Kanisius.
  3. Louw, Johannes P. dan Nida, Eugene. 1998. Greek-English Lexicon of the New Testament Based on Semantic Domains. Vol 1 & 2. New York: United Bible Societies.
  4. Neyrey, Jerome H. 1985. “Eternal life” dalam Harper’s Bible Dictionary, ed. Paul J. Achtemeir, hlm. 282-283. San Francisco: Harper &Row.
  5. Piper, O. A. 1962. “Life” dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible, ed.George A. Buttrick, Vol. 3:124-130. Nashville; Abingdon.

Sumber: Forum Biblika no.5