Tetragrammaton (YHWH)
Selain El yang disembah para bapak leluhur Israel (lihat artikel berjudul “Agama dan Filsafat” pada hlm. 1545), di kemudian hari umat Israel menyembah YHWH dan menyamakannya dengan El. Dikenal juga sebagai “Tetragrammaton”, kata berhuruf empat itu ditemukan kurang lebih 6800 kali dalam Perjanjian Lama.
Asal-usul dan makna
Dalam Alkitab Ibrani, Tetragrammaton telah digunakan dalam syair-syair terkuno seperti Nyanyian Miryam (
Ketidakpastian yang serupa juga berkenaan dengan makna YHWH. Banyak pakar yang melihat kaitannya dengan kata kerja Ibrani ’hayah yang berarti ’ada, adalah, hadir, menjadi’. Dalam
Pengertian di atas bukan satu-satunya kemungkinan untuk mengartikan YHWH. Ada yang mengaitkannya, misalnya, dengan akar kata hwt (’berbicara’) dalam bahasa Ugarit, bahasa serumpun Ibrani, sehingga YHWH diartikan ’Dia yang berbicara’. Pendapat yang lain malah mengaitkan YHWH dengan akar kata Arab hyw yang berarti ’menghembus, meniup, merobohkan’, sehingga artinya menjadi ’Dia yang meniup atau merobohkan’. Arti ini memang cocok dengan gambaran mengenai YHWH sebagai ”Allah guruh”, yang berbicara dalam guruh dan kilat (
Pelafalan atau pengucapannya
Pelafalan yang tepat untuk YHWH tidak diketahui lagi. Bentuk ”Yahweh” yang sekarang umum dikenal sebenarnya merupakan hasil rekonstruksi terhadap Tetragrammaton. Rekonstruksi ini didasarkan pada pelafalan kata yang mirip dalam teks-teks Amorit dan pelafalan yang dicatat dalam beberapa teks Yunani.
Patut dicatat, setelah masa pembuangan di Babel, umat Yahudi amat segan menyebut Tetragrammaton yang sakral itu secara langsung. Setiap kali mereka menemukan Tetragrammaton dalam Alkitab mereka, dengan rasa hormat yang mendalam mereka mengucapkan ”Adonay” yang berarti ’Tuanku’ atau ’Tuhan(ku)’.
Salah satu bukti tradisi pengucapan ini adalah Septuaginta, Perjanjian Lama berbahasa Yunani yang diterjemahkan dari Alkitab Ibrani. Terjemahan Alkitab perdana ini dikerjakan di Aleksandria, Mesir, sejak abad ketiga SM. Pada masa itu, mulai dari masa pemerintahan Aleksander Agung, bahasa Yunani menjadi bahasa pengantar di seluruh wilayah kekuasaannya, termasuk Palestina dan sekitarnya. Dalam Septuaginta, ternyata istilah Yunani yang dipakai sebagai padanan Tetragrammaton adalah ”Kyrios” yang berarti ’Tuan’ atau ’Tuhan’. Padanan ini jelas sekali mencerminkan tradisi pengucapan Tetragrammaton sebagai ”Adonay”.
Kaum Masoret pun, yang terkenal amat setia menjaga kesahihan teks Ibrani, mempertahankan tradisi yang sama. Para penyalin Yahudi itu menyisipkan vokal a-o-a dari kata ”A-do-nay” ke dalam YHWH. Dengan cara itu, mereka ingin mengingatkan para pembaca Yahudi untuk menyebut ”Adonay” setiap kali menemukan Tetragrammaton dalam teks Ibrani yang mereka baca. Ironisnya, maksud kaum Masoret ini justru keliru dipahami atau tidak dipedulikan oleh umat Kristen di kemudian hari. Alhasil, YHWH disalin sebagai ”Yahowa” atau ”Yehuwa”. Salah kaprah ini mulai muncul pada abad pertengahan, konon sejak masa Paus Leo X, lalu diikuti oleh berbagai terjemahan Alkitab dari abad-abad lalu.
Tetragrammaton dalam Perjanjian Baru
Umat Kristen mula-mula, yang juga menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa pengantar, mengikuti tradisi Yahudi yang tercermin dalam Septuaginta. Hal itu terbukti pada kutipan-kutipan dari Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru tidak mempertahankan Tetragrammaton ataupun pelafalan Ibraninya. Sebagai contoh, dalam pencobaan di gurun, Yesus menjawab godaan Iblis dengan mengutip
Sumber: Alkitab Edisi Studi, Hlm. 114