Tetragrammaton (YHWH)

Selain El yang disembah para bapak leluhur Israel (lihat artikel berjudul “Agama dan Filsafat” pada hlm. 1545), di kemudian hari umat Israel menyembah YHWH dan menyamakannya dengan El. Dikenal juga sebagai “Tetragrammaton”, kata berhuruf empat itu ditemukan kurang lebih 6800 kali dalam Perjanjian Lama.

Dalam Alkitab Ibrani, Tetragrammaton telah digunakan dalam syair-syair terkuno seperti Nyanyian Miryam (Kel 15:1-) dan Nyanyian Debora (Hak 5:1-) yang diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-12 SM.Berdasarkan keterangan dalam Alkitab Ibrani, sudah lama diusulkan bahwa YHWH awalnya disem­bah orang Midian. Musa dikisahkan menggemba­la­kan ternak Yitro, mertuanya, di Midian (Kel 2:15-22). Di Gunung Sinai (atau Horeb) yang berada di wilayah Midian, Musa bertemu dengan YHWH di balik belukar menyala (Kel 3:1-). Kemungkinan ia meng­ambil alih kultus Midian itu dari mertuanya yang adalah seorang imam. Salah satu indikasinya ialah pujian dan kurban yang dipersembahkan Yitro kepada YHWH setelah menyaksikan kemajuan yang dicapai menantunya (Kel 18:1-). Kesamaan kultus ini diperkirakan telah memungkinkan orang Keni, salah satu klan Midian, bersatu dengan orang Yehuda untuk menduduki Kanaan (Hak 1:16). Akan tetapi, berdasarkan teks-teks lainnya, ada pula yang memperkirakan bahwa YHWH berasal dari Edom dan sekitarnya. YHWH digambarkan berasal dari Edom, Seir, Paran, Sinai atau Téman (Hak 5:4; Ul 33:2; Hab 3:3). Jadi, kendati banyak pakar yang berpendapat bahwa kultus YHWH berasal dari luar Israel, jejaknya yang persis sulit ditelusuri.

Ketidakpastian yang serupa juga berkenaan dengan makna YHWH. Banyak pakar yang melihat kaitannya dengan kata kerja Ibrani ’hayah yang berarti ’ada, adalah, hadir, menjadi’. Dalam Kel 3:13, Musa bertanya kepada Allah mengenai nama-Nya. Allah memberikan kepada Musa jawaban yang sulit ditangkap maknanya: ’Ehyehasyerehyeh (Kel 3:14). Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974), kata-kata itu diterjemahkan sebagai ”AKU ADALAH AKU”. ’Ehyeh merupakan kata kerja yang dibentuk dari kata hayah. Dari segi waktu, kata kerja ’ehyeh dapat mengacu kepada kala kini (present) ataupun kala nanti (future). Karena itu, jawaban Allah atas pertanyaan Musa sering ditafsirkan sebagai pene­gasan bahwa Dialah yang senantiasa ”ADA”, hadir menyertai umat-Nya dalam sejarah mereka.

Pengertian di atas bukan satu-satunya kemung­kinan untuk mengartikan YHWH. Ada yang menga­itkannya, misalnya, dengan akar kata hwt (’berbicara’) dalam bahasa Ugarit, bahasa serumpun Ibrani, sehingga YHWH diartikan ’Dia yang berbica­ra’. Pendapat yang lain malah mengaitkan YHWH de­ngan akar kata Arab hyw yang berarti ’menghembus, meniup, merobohkan’, sehingga artinya men­jadi ’Dia yang meniup atau merobohkan’. Arti ini memang cocok dengan gambaran mengenai YHWH sebagai ”Allah guruh”, yang berbicara dalam gu­ruh dan kilat (Kel 19:16-19;Kel 20:18; Mzm 18:14; Ayb 37:5). Namun, harus diakui, apa pun kemungkin­an akar katanya, kita tidak dapat mengetahui lagi maknanya yang persis.

Pelafalan yang tepat untuk YHWH tidak dike­tahui lagi. Bentuk ”Yahweh” yang sekarang umum dikenal sebenarnya merupakan hasil rekonstruksi terhadap Tetragrammaton. Rekonstruksi ini dida­sarkan pada pelafalan kata yang mirip dalam teks-teks Amorit dan pelafalan yang dicatat dalam beberapa teks Yunani.

Patut dicatat, setelah masa pembuangan di Ba­bel, umat Yahudi amat segan menyebut Tetragrammaton yang sakral itu secara langsung. Setiap kali mereka menemukan Tetragrammaton dalam Alki­tab mereka, dengan rasa hormat yang mendalam mereka mengucapkan ”Adonay” yang berarti ’Tuanku’ atau ’Tuhan(ku)’.

Salah satu bukti tradisi pengucapan ini adalah Septuaginta, Perjanjian Lama berbahasa Yunani yang diterjemahkan dari Alkitab Ibrani. Terjemahan Alkitab perdana ini dikerjakan di Aleksandria, Mesir, sejak abad ketiga SM. Pada masa itu, mulai dari masa pemerintahan Aleksander Agung, bahasa Yunani menjadi bahasa pengantar di seluruh wilayah kekuasaannya, termasuk Palestina dan sekitarnya. Dalam Septuaginta, ternyata istilah Yunani yang dipakai sebagai padanan Tetragrammaton adalah ”Kyrios” yang berarti ’Tuan’ atau ’Tuhan’. Padanan ini jelas sekali mencerminkan tradisi pengucapan Tetragrammaton sebagai ”Adonay”.

Kaum Masoret pun, yang terkenal amat setia menjaga kesahihan teks Ibrani, mempertahankan tradisi yang sama. Para penyalin Yahudi itu menyi­sipkan vokal a-o-a dari kata ”A-do-nay” ke dalam YHWH. Dengan cara itu, mereka ingin mengingat­kan para pembaca Yahudi untuk menyebut ”Ado­nay” setiap kali menemukan Tetragrammaton da­­­lam teks Ibrani yang mereka baca. Ironisnya, mak­­sud kaum Masoret ini justru keliru dipahami atau tidak dipedulikan oleh umat Kristen di kemudian hari. Alhasil, YHWH disalin sebagai ”Yahowa” atau ”Yehuwa”. Salah kaprah ini mulai muncul pada abad pertengahan, konon sejak masa Paus Leo X, lalu diikuti oleh berbagai terjemahan Alkitab dari abad-abad lalu.

Umat Kristen mula-mula, yang juga menggunakan bahasa Yunani sebagai bahasa pengantar, mengikuti tradisi Yahudi yang tercermin dalam Septuaginta. Hal itu terbukti pada kutipan-kutipan dari Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru tidak mempertahankan Tetragrammaton ataupun pela­falan Ibraninya. Sebagai contoh, dalam pen­cobaan di gurun, Yesus menjawab godaan Iblis dengan mengu­tip Ul 6:16: ”Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu” (Mat 4:7). Kata ”Tuhan” dalam ayat ini diterjemahkan dari kata ”Kyrios” dalam bahasa Yunani. Seperti dalam Septuaginta, kata ”Kyrios” mencerminkan pengucapan YHWH sebagai ”Adonay” (‘Tuanku’ atau ‘Tuhan(ku)’). Rasul Paulus juga mengikuti tradisi Yahudi yang sama. Dalam salah satu bagian suratnya kepada jemaat di Roma, ia mengutip Yl 2:32: ”barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan akan diselamatkan” (Rm 10:13). Sama seperti dalam Mat 4:7, kata ”Tuhan” dalam ayat ini diterjemahkan dari kata ”Kyrios”. Tidak terlihat sama sekali upaya untuk mempertahankan Tetragrammaton atau pelafalan Ibraninya. Tradisi Yahudi yang diteruskan umat Kristen mula-mula menjadi model untuk berbagai terjemahan modern. Dalam Alkitab Terjemahan Baru (1974), misalnya, kata ”TUHAN”, yang ditulis dengan huruf besar seluruhnya, merupakan padanan untuk YHWH yang diucapkan sebagai ”Adonay”. Berbagai terjemahan modern juga mengikuti tradisi yang sama, misalnya, dalam bahasa Inggris: ”the LORD” (New Jewish Publication Society Version; New Revised Standard Version, New International Version, New King James Version, Today’s English Version); Jerman: ”der HERR” (Einheits­übersetzung; die Bibel nach der Übersetzung Martin Luthers); Belanda: ”de HEER” (Nieuwe Bijbelvertaling); dan Perancis”: ”le SEIGNEUR” (Traduction Oecumé­ni­que de la Bible).


Sumber: Alkitab Edisi Studi, Hlm. 114